Benarkah Vape sebagai Solusi Berhenti Merokok? (1)

- Jumat, 31 Mei 2019 | 10:33 WIB

SETIAP tanggal 31 Mei, World Health Organization (WHO) dan seluruh dunia memperingati World No Tobacco Day (WNTD) atau Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Fokus pada Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2019 ini adalah “Tobacco and Lung Health”. “Don’t Let Tobacco Take Your Breath Away“ merupakan slogan yang diangkat dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tahun 2019. Kampanye ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan dampak negatif rokok atau tembakau terhadap kesehatan tubuh khususnya kesehatan paru.

Penggunaan produk tembakau tidak hanya berupa rokok konvensional, angka pengguna rokok elektrik juga semakin meningkat di kalangan anak dan remaja WHO menyebutkan bahwa peredaran rokok elektronik atau yang secara umum dikenal dengan nama vape, secara global saat ini tengah melambung. Peredarannya tersebar luas terutama di negara-negara berkembang, khususnya pada anak-anak dan remaja. Ribuan toko vape tiba-tiba menjamur dan pengguna vape menjadi sangat umum. Produk baru ini disebut-sebut lebih aman dibanding rokok konvensional dan bahkan bisa menjadi solusi berhenti merokok.

Di Indonesia, ditemukan kasus anak-anak sekolah dasar mengonsumsi vape di sekolah. Peminat rokok elektronik secara dahsyat meningkat tajam yang diindikasikan dengan menjamurnya para penjual vape, baik di gerai-gerai maupun di toko online (BPOM, 2018). Sangat mudah mendapatnya dan tidak ada regulasi yang mengaturnya kecuali pengenaan cukai 57 persen yang justru melegalisasi produk yang belum jelas keamanannya ini. Penggunaan vape sudah ditemukan pada anak-anak usia sekolah dasar. Secara umum pengguna rokok elektrik di Indonesia naik dari 0.3 persen pada tahun 2011 menjadi 11.8 persen di tahun 2018. Sementara keamanaan jangka panjang penggunaan rokok elektronik ini belum dapat dibuktikan

Dalam berbagai kesempatan, para penjual dan produsen vape berkampanye menyebutkan produk ini lebih aman karena tidak mengeluarkan asap dan tidak beracun, serta sangat menganjurkan para perokok konvensional untuk pindah ke rokok elektronik untuk membantu berhenti merokok. Sayangnya, masyarakat tidak mendapat referensi untuk mengetahui fakta-fakta di balik informasi tersebut. Pemerintah juga belum membuat pernyataan yang tegas mengenai produk ini sebagai panduan kepada masyarakat dalam pemakaiannya.

Kenyataannya, rokok elektronik bukan tidak berbahaya karena mengandung bahan-bahan kimia yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan. Sama seperti rokok yang dibakar, vape juga mengandung nikotin yang bisa menyebabkan efek adiksi atau ketagihan. Vape juga mengandung bahan karsinogen (penyebab kanker) seperti propylene glycol, gliserol, formaldehid, nitrosamin dll, serta bahan toksik lain seperti logam/ berat, silikat, nanopartikel dan particulate matter) yang merangsang iritasi dan peradangan serta menimbulkan kerusakan sel.

Berbagai penelitian menunjukkan dampak rokok elektrik pada sistem paru dan pernapasan, seperti peningkatan peradangan, kerusakan epitel, kerusakan sel, menurunkan sistem imunitas lokal paru dan saluran napas, peningkatan hipersensitif saluran napas, risiko asma dan emfisema serta risiko kanker paru. Nikotin, selain meyebabkan adiksi, mampu mengubah ekspresi beberapa gen, salah satunya ICAM-4 yang dapat meningkatkan penempelan kuman tuberkulosis (TB). Kondisi tersebut membuat perokok berisiko dua kali lipat untuk terinfeksi dan mati karena TB dibandingkan bukan perokok.

Dulu ada anggapan bahwa vape dapat menjadi alat bantu berhenti merokok. Namun bukan berhenti merokok yang didapat, banyak penelitian di beberapa negara, perokok konvensional yang mau beralih ke vape malah menjadi  DUAL users (mengkonsumsi rokok konvensional dan vape). Penelitian UHAMKA pada pelajar SMA di Jakarta pada tahun 2018 mendapatkan hasil 11,8 menggunakan vape dan 51 persen dari perokok vape tersebut dual user. WHO dalam konferensi WHO Framework Convention On Tobacco Control tahun 2014 juga menyimpulkan bahwa tidak ada cukup bukti yang menyatakan rokok elektronik dapat membantu seseorang untuk berhenti merokok.

Vape berpotensi berbahaya karena mengandung zat kimia yang sebagian bersifat karsinogenik dan nikotin yang menimbulkan kecanduan sehingga dapat mengalami adiksi pula. Uap aerosol yang dihasilkan tetap mengandung zat kimia dari cairan atau tembakau yang dipanaskan sehingga tetap berisiko terhadap second hand smoker. Target promosi rokok elektronik meliputi kelompok rentan anak-anak dan remaja yang berpotensi menjadi pintu masuk beragam jenis narkoba. Oleh karena itu, melihat kerugian yang ditimbulkan oleh pemakaian rokok elektronik, masyarakat perlu waspada agar tidak menggunakan vape  untuk mencegah konsumsi nikotin dalam bentuk berbeda dengan isi yang sama.(*)

 

 

Editor: adminbp-Admin Balpos

Rekomendasi

Terkini

PLN dan PWI Kalteng Gelar Donor Darah

Kamis, 29 Februari 2024 | 10:23 WIB
X