Hanya Sawah Tadah Hujan, Petani Disini Hanya Bisa Panen 2 Kali Setahun

- Sabtu, 18 Juli 2020 | 10:49 WIB
PERTANIAN: Petani di Babulu menantikan pembangunan Bendungan Telake di Kabupaten Paser. Karena selama ini, sistem pengairan hanya tadah hujan.
PERTANIAN: Petani di Babulu menantikan pembangunan Bendungan Telake di Kabupaten Paser. Karena selama ini, sistem pengairan hanya tadah hujan.

PENAJAM- Lahan pertanian produktif di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) belasan ribu hektare. Sehingga PPU dinobatkan salah satu daerah lumbung padi di Kalimantan Timur (Kaltim). Lahan pertanian tersebar di empat kecamatan, tetapi lahan pertanian paling luas terdapat di Kecamatan Babulu mencapai 8 ribu hektare.

Namun, selama ini sistem pengairan lahan pertanian di Benuo Taka hanya mengandalkan air hujan atau sistem pengairan tadah hujan. Karena di daerah ini belum memiliki bendungan besar untuk irigasi pertanian yang mampu mengairi ribuan hektare sawah.

Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Babulu Darat Ripani mengatakan, pengairan lahan pertanian di Kecamatan Babulu hanya bersumber dari sungai kecil. Pasokan air sungai tersebut juga sangat tergantung dengan curah hujan. Ketika musim kemarau, sumber air juga mengalami kekeringan sehingga berdampak terhadap lahan pertanian. “Petani di Babulu hanya mengandalkan hujan. Kalau tidak turun hujan selama dua minggu berturut-turut pasti banyak sawah sudah mengering. Utamanya yang jauh dari sumber air,” kata Ripani pada media ini, kemarin.

Lahan pertanian di Kecamatan Babulu rata-rata hanya bisa panen dua kali setahun. Bahkan, ada lahan pertanian yang jauh dari sumber air hanya digarap sekali setahun. “Sawah di Babulu hanya bisa digarap dua kali setahun,” ujarnya.

Ripani menyatakan, lahan pertanian di Babulu memiliki potensi untuk panen tiga kali setahun apabila Bendungan Telake di Kecamatan Long Kali, Kabupaten Paser terealisasi. “Kalau Bendungan Telake dibangun, pasti kita bisa panen tiga kali setahun. Kami selaku petani juga bisa menikmati namanya kesejahteraan. Kalau masih dua kali panen setahun seperti saat ini, masih jauh dari kata cukup,” terangnya.

Minimnya pasokan air untuk lahan pertanian juga membuat hasil panen tidak maksimal. Ripani mengungkapkan, rata-rata hasil panen hanya tiga sampai empat ton per hektare. “Untuk mencapai lima ton per hektare saja sangat sulit dengan kondisi saat ini,” terangnya.

Selain terkendala pengairan, petani juga mengeluhkan persediaan pupuk subsidi dari pemerintah. Karena tahun ini, jatah pupuk subsidi dari Kementerian Pertanian (Kementan) dipangkas 50 persen. Tahun lalu, pupuk subsidi sebanyak 2.100 ton, namun tahun ini tersisa 1.000 ton. Pemangkasan pupuk subsidi tersebut membuat petani mengeluarkan biaya yang besar. Pasalnya, harga pupuk non subsidi jauh lebih mahal dibandingkan pupuk subsidi. “Kalau pupuk non subsidi cukup banyak, namun harganya mahal. Yang langka pupuk bersubsidi. Kami berharap kepada pemerintah memperhatikan masalah ini,” ujar Ripani.

Ripani menyatakan, penyuluh pertanian di Babulu cukup aktif melakukan pendampingan terhadap petani. Namun, keberadaan mereka akan lebih berarti apabila kebutuhan pengairan dipenuhi terlebih dahulu. “Penyuluh pertanian selalu melakukan pendampingan. Kalau ada serangan hama pasti mereka turun melakukan pengecekan dan merekomendasikan jenis pestisida yang efektif memberantas hama. Kalau bantuan pestisida dari pemerintah itu bisa disalurkan kalau terjadi serangan hama luar biasa. Kalau hanya skala kecil, petani sendiri yang membeli pestisida,” tandasnya. (kad/ono)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

HIMASJA Soroti Dugaan Pungli PTSL di Samboja

Rabu, 24 April 2024 | 09:37 WIB

Stadion Batakan Segera Dilengkapi Lapangan Latihan

Selasa, 23 April 2024 | 13:22 WIB

BPKAD Proses Hibah Lahan Perum Bumi Sempaja

Selasa, 23 April 2024 | 10:00 WIB

SIC Bersedia Biayai Waterfront City

Selasa, 23 April 2024 | 08:30 WIB

Lima SPBU di Kutai Barat Wajibkan QR Barcode

Senin, 22 April 2024 | 20:00 WIB
X