ALIKPAPAN – Sejak akhir 2020 lalu, harga kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe melonjak tinggi hingga Rp 9.700 per kilogram. Sebelumnya, di pasaran hanya kisaran Rp 7.500 per kilogram.
Hal tersebut mempengaruhi produsen tahu dan tempe. Seperti yang dirasakan Etik Trisnawati (32), produsen tahu dan tempe di Sumber Rejo 3, Gang Kawi RT 40, Balikpapan Tengah (Balteng). Saat ditemui KPFM, Rabu (6/1) siang, Etik mengaku jika dirinya sangat merasakan dampak dari naiknya harga kedelai tersebut. Pendapatannya menipis, imbas dari produksi yang dikurangi dari biasanya.
“Kita mengurangi produksi hampir 50 persen. Biasanya kalau produksi tempe itu setiap hari 150 kilogram, dan sekarang hanya 60 sampai 65 kilogram saja,” kata Etik. Hal ini terpaksa ia lakukan guna menghindari kerugian dan tetap bisa melakukan produksi di saat harga bahan baku melonjak naik. “Jadi kita masih tetap bisa produksi,” ujarnya.
Menaikan harga jual ke pasar juga sebenarnya bisa dilakukan Etik agar tidak merugi. Namun dirinya tidak berani, khawatir daya beli konsumen akan menurun. “Tidak berani naikan harga ke pasar, daya beli akan turun. Makanya harga tetap lima ribu, tapi kita menyiasatinya dengan mengurangi isi atau takaran untuk kedelainya,” ungkap Etik.
Naiknya harga kedelai ini sudah dirasakannya sejak akhir Desember 2020 lalu. “Harganya mulai naik dari akhir Desember. Itu sedikit-sedikit naiknya, hingga menyentuh sembilan ribu per kilogram. Dan ini mau naik lagi katanya,” tuturnya.
Ditanya penyebab melonjaknya harga kedelai tersebut, wanita berjilbab itu menduga jika impor yang dilakukan berkurang karena siatusi masih pandemi Covid-19. “Kita kan pakai kacang impor, jadi mungkin karena virus Corona jadi berkurang,” ucapnya.
Selama ini Etik memang selalu menggunakan bahan baku impor dalam melakukan produksi, sebab yang lokal pasokan tidak terlalu mencukupi. “Yang lokal itu gak ada memang. Atau mungkin gak cukup untuk menyediakan pasokan,” tandasnya. (Frey Janu/Kpfm)