Tuntut Ganti Rugi Tanam Tumbuh ke Perusahaan Tambang, 7 Warga Samboja Dipanggil Polisi

- Selasa, 20 Juni 2023 | 19:01 WIB
Latepu dan Ahmadi menunjukkan surat pemanggilan dari Polsek Samboja. Selain dua orang ini, ada lima warga lain di RT 04, Karya Merdeka, yang dipanggil polisi karena dilaporkan perusahaan.
 
 
 
 (Foto : Erik Alfian/Prokal.co)
Latepu dan Ahmadi menunjukkan surat pemanggilan dari Polsek Samboja. Selain dua orang ini, ada lima warga lain di RT 04, Karya Merdeka, yang dipanggil polisi karena dilaporkan perusahaan. (Foto : Erik Alfian/Prokal.co)

 

SAMBOJA-Konflik antara warga dengan perusahaan tambang batu bara kembali terulang. Terbaru, tujuh warga RT 04, Kelurahan Karya Merdeka, Kecamatan Samboja Barat mesti menjalani pemeriksaan di kantor polisi akibat dilaporkan perusahaan tambang.

Pada pekan lalu, tujuh warga ini menjalani pemeriksaan di Polsek Samboja karena tuduhan mengganggu operasional perusahaan. Pemanggilan ini bermula dari tindakan warga melakukan pemagaran dengan tali rafia di lahan yang masuk lokasi penambangan batu bara.

Latepu (41), salah satu warga mengaku pemanggilan terhadap warga dilakukan secara bergantian mulai 8 Juni, 15 Juni dan 17 Juni. “Karena dipanggil ya kami datang saja. Di sana kami dijelaskan kenapa sampai dipanggil, katanya kamu menganggu operasional perusahaan,” kata Tepo kepada Prokal.co, Selasa (20/6) pagi.

Mundur ke belakang, konflik ini bermula saat sebuah perusahaan tambang berencana melakukan aktifitas eksplorasi pada Februari lalu. 

Rencana eksplorasi ini di kemudian hari rupanya berdampak pada puluhan hektare lahan yang selama ini dikelola warga RT 04. 

Ketua RT 04 Rahmadi menerangkan, puluhan hektare lahan tersebut merupakan lahan di kawasan HTI yang dikelola warga setempat selama bertahun-tahun. Di atas lahan tersebut, warga menanami sawit, karet, pisang, durian serta tanaman produktif lainnya. PT Inhutani, kata dia juga tahu aktifitas bertanam yang dilakukan warga ini.

“Warga hanya menuntut ganti rugi yang pantas untuk tanaman di lahan itu. Tapi harga yang ditawarkan jauh di bawah harapan kami,” kata Rahmadi.

Menurut dia, harga yang diinginkan warga untuk tanaman yang tumbuh setiap hektare Rp 400 juta. Namun, perusahaan hanya mau membayar Rp 70 juta untuk setiap hektare. “Harga itu (Rp 70 juta) juga bukan dari perusahaan langsung, itu dari oknum warga yang selalu dihadapkan dengan kami,” katanya.

Nominal ganti rugi ini, sebut Rahmadi diklaim sudah sesuai dengan Perda soal ganti rugi tanam tumbuh. Karena berada di dalam kawasan HTI, harga ganti rugi hanya setengah dari harga normal setiap pohon.

“Mereka bilang begitu (sesuai Perda), tapi pas saya minta mereka juga tidak bisa menunjukkan,” jelas Rahmadi.

Upaya mediasi antara warga dengan perusahaan, sebut dia juga sempat dilakukan. Namun menemui jalan buntu. Tak ada kesepakatan yang tercapai. Padahal, warga disebut dia terbuka dengan penawaran perusahaan, asal tak melalui pihak lain.

“Kami ingin komunikasinya dengan perusahaan dan disaksikan perangkat desa. Tapi pihak perusahaan tak pernah berkenan,” kata dia.

Puncak kekesalan warga terjadi pada 8 Mei kemarin, mereka memutuskan memasang tali rafia di lahan yang jadi lokasi pembuangan tanah hasil operasi pertambangan.

Halaman:

Editor: Wawan-Wawan Lastiawan

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pengedar Kabur, Orang Suruhan Diringkus

Rabu, 17 April 2024 | 09:34 WIB
X